BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Merokok dan Kesehatan
Bahaya
merokok bagi kesehatan telah dibicarakan dan diakui secara luas. Para ahli dari
WHO menyatakan bahwa di negara yang memiliki kebiasaan merokok yang luas, maka
kebiasaan tersebut menyebabkan terjadinya 80 persen hingga 90 persen kematian akibat kanker paru, 75 persen dari
kematian akibat bronkitis, 40 persen kematian akibat kanker kandung kencing,
dan 25 persen kematian akibat penyakit jantung iskemik. WHO dalam laporannya
juga menyebutkan beberapa penyakit yang berhubungan dengan kebiasaan merokok,
yaitu kanker mulut/tenggorokan/kerongkongan, penyakit pembuluh darah otak,
tuberkulosis, pneumonia, arteriosklerosis, dan gangguan janin dalam kandungan
(Aditama, 1992).
Kebiasaan Merokok pada ibu hamil ternyata
membawa dampak buruk pada anak yang akan dilahirkannya. Ibu-ibu yang merokok
lebih cenderung mengalami keguguran. Lebih besar kecenderungan mereka untuk
melahirkan bayi mati (Knight, 1996). Seandainya bayi itu lahir normal, maka
bayi itu lebih sering meninggal pada bulan-bulan pertama hidupnya. Selain itu,
berat badan bayi dengan ibu perokok kebanyakan kurang dan bayinya lebih sering
sakit.
Berat badan bayi
tersebut lebih rendah 40-400 gram dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu
bukan perokok (Aditama, 1992).
Nikotin
yang terdapat pada asap rokok bersifat toksis terhadap jaringan saraf, juga
menyebabkan meningkatnya tekanan darah sistolik dan diastolik. Denyut jantung
bertambah, kontraksi otot bertambah, otot jantuk seperti dipaksa untuk
berkontraksi, pemakaian oksigen meningkat, aliran darah pada pembuluh koroner
bertambah, dan terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Nikotin
menyebabkan meningkatnya kadar gula darah, kadar asam lemak bebas, dan
meningkatkan agregasi sel pembekuan darah. Nikotin juga memegang peranan
penting dalam terjadinya ketagihan merokok
karena nikotin yang bersifat adiktif (Sitepoe, 2000).
Tar
adalah kumpulan dari ratusan atau bahkan ribuan bahan kimia dalam komponen
padat asap rokok selain nikotin. Tar adalah
senyawa polinuklir hidrokarbon aromatika yang bersifat karsinogenik (Istiqomah,
2003). Timbulnya kanker paru berhubungan dengan jumlah rokok yang diisap, lama
merokok, dan jenis rokok yang diisap. Artinya, makin banyak rokok yang diisap,
makin lama pula kebiasaan merokok, makin tinggi pula kadar tar rokok yang
diisap sehingga kemungkinan orang menderita kanker paru lebih besar. Kebiasaan
merokok juga dihubungkan dengan berbagai kanker lain, mulai dari kanker mulut
sampai kanker leher rahim. Kanker timbul diduga akibat diserapnya bahan-bahan
karsinogenik, misalnya tar (Aditama, 1992).
Merokok
tidak hanya mengakibatkan gangguan kesehatan pada si perokok tetapi juga orang
di sekitarnya yang terpaksa ikut menghisap asap rokok (perokok pasif). Bayi
yang belum lahir berada dalam risiko, demikian juga anak yang orang tuanya
merokok, dan juga orang dewasa. Meskipun risiko yang dihadapi tidak sebesar si
perokok, jenis penyakit dan kelainan yang timbul ternyata serupa (Crofton dan Simpson,
2009).
B. Eritrosit
Eritrosit
memiliki fungsi utama mengikat dan membawa oksigen dari paru-paru untuk
diedarkan ke seluruh sel di berbagai jaringan. Selain itu, eritrosit juga
berfungsi mengikat dan mempermudah transportasi gas karbondioksida yang
terbentuk di seluruh jaringan yang mampu melakukan metabolisme secara aerob
untuk dibawa ke jaringan pembuangan ekskreta yang berbentuk gas, yaitu
paru-paru (Sadikin, 2001).
Eritrosit
memang dikhususkan untuk mentranspor oksigen dan karbon dioksida dalam
sirkulasi darah. Eritrosit tidak memiliki inti sel sehingga bagian tengahnya
tipis (1 mikron) dan tepian luarnya lebih tebal (2 mikron) . Bentuknya yang
bikonkaf dengan diameter 7,5 mikron
membuat eritrosit memiliki permukaan yang lebih luas sehingga
mempercepat difusi O2 dan CO2 antara sitoplasma dengan
plasma di sekitarnya (Tarwoto , 2008).
Eritrosit
bersifat cukup fleksibel, suatu sifat yang memungkinkan eritrosit dapat
menyesuaikan diri terhadap bentuk ireguler dan garis tengah kapiler yang sangat
kecil karena permukaan membran eritrosit tersusun atas protein perifer. Eritrosit mengandung larutan hemoglobin 33 persen dan
di dalamnya juga terdapat enzim dari jalur lintas glikolitik dan
heksosamonofosfat dari metabolisme glukosa (Junqueira et al., 1997).
Hemoglobin
adalah protein berpigmen merah yang terdapat dalam sel darah merah. Normalnya
dalam darah pada laki-laki 15,5 g/dl dan pada wanita 14,0 g/dl. Rata-rata
konsentrasi hemoglobin (MCHC = Mean Cell Concentration of Haemoglobin) pada sel
darah merah 32 g/dl (Tarwoto, 2008).
Hemoglobin
berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru dan dalam peredaran darah untuk
dibawa ke jaringan. Ikatan hemoglobin dengan oksigen disebut oksihemoglobin
(HbO2). Disamping oksigen, hemoglobin juga membawa karbondioksida
dan dengan karbonmonoksida membentuk ikatan karbon monoksihemoglobin (HbCO),
juga berperan dalam keseimbangan pH darah (Tarwoto, 2008).
Sintesa
hemoglobin terjadi selama proses eritropoesis, pematangan sel darah merah akan
mempengaruhi fungsi hemoglobin. Struktur hemoglobin terdiri dari dua unsur
utama yaitu besi yang mengandung pigmen hem dan protein globin. Seperti halnya
jenis protein lain, globin mempunyai rantai panjang dari asam amino. Ada empat
rantai globin yaitu alpha (α), beta (β), delta (δ), dan gamma (γ). Ada tiga
jenis hemoglobin (Hb) yaitu :
1. HbA
merupakan kebanyakan dari hemoglobin orang dewasa, mempunyai rantai globin 2α
dan 2β
2. HbA2
merupakan minoritas hemoglobin pada orang dewasa, mempunyai rantai globin 2α
dan 2δ
3. HbF
merupakan hemoglobin fetal, mempunyai rantai globin 2α dan 2γ. Saat bayi lahir
2/3 nya adalah jenis hemoglobin HbF dan 1/3 nya adalah HbA. Menjelang usia 5
tahun menjadi HbA>95 persen, dan HbA2 < 3,5 persen dan HbF
< 1,5 persen (Tarwoto, 2008).
C. Eritropoietin
Eritropoietin
adalah glikoprotein yang mengandung 165 residu asam amino dan 4 rantai
oligosakarida yang penting untuk aktivitasnya in vivo. Pada orang dewasa 85
persen eritropoietin berasal dari ginjal dan sisanya dari hati. Eritropoietin
juga dapat diekstraksi dari limpa dan kelenjar liur. Eritropoietin berfungsi
merangsang produksi eritrosit (Ganong, 1998). Pembentukannya sebagai respon
terhadap hipoksia, bila eritropoietin tidak ada keadaan hipoksia akan sedikit
berpengaruh atau tidak berpengaruh sama sekali dalam perangsangan produksi
eritrosit. Hipoksia akan dengan nyata meningkatkan produksi eritrosit sampai
keadaan hipoksia tertanggulangi bila sistem eritropoietin ini berfungsi
sebagaimana mestinya (Guyton dan Hall, 1987).
Eritropoietin
dengan jumlah yang sedikit, menyebabkan sumsum tulang hanya membentuk eritrosit
dalam jumlah sedikit pula. Pada keadaan ekstrem lain, bila jumlah eritropoietin
yang terbentuk banyak sekali, dan jika tersedia banyak sekali besi dan nutrisi
lainnya yang diperlukan misalnya vitamin B dan asam folat, maka
kecepatan produksi eritrosit dapat meningkat sampai sepuluh kali lipat atau
bahkan lebih (Guyton dan Hall, 1987).
Seseorang
dengan penyakit ginjal kronik atau kedua ginjalnya diangkat, maka penderita
akan sangat anemik karena 15 persen eritropoietin normal yang dibentuk di hati
hanya cukup menyediakan sepertiga sampai setengah dari produksi eritrosit yang
dibutuhkan tubuh (Guyton dan Hall, 1987). Orang yang menderita penyakit paru
kronik akan mengalami peningkatan P COarteri bersamaan dengan penurunan P Oyang menimbulkan hipoksia (Sherwood, 2001).
D. Eritropoesis (Produksi Sel Darah Merah)
Dalam
keadaan normal, eritropoesis pada orang dewasa terutama terjadi di dalam sumsum
tulang, dimana sistem eritrosit menempati 20 persen hingga 30 persen bagian
jaringan sumsum tulang yang aktif membentuk sel darah. Sel eritrosit berinti
berasal dari sel induk multipotensial dalam sumsum tulang. Sel induk
multipotensial ini mampu berdiferensiasi menjadi sel darah sistem eritrosit,
mieloid, dan megakariosibila yang dirangsang oleh eritropoeitin. Sel induk
multipotensial akan berdiferensiasi menjadi sel induk unipotensial (Handayani,
2008).
Sel
induk unipotensial tidak mampu berdiferensiasi lebih lanjut, sehingga sel induk
unipotensial seri eritrosit hanya akan berdiferensiasi menjadi sel
pronormoblas. Sel pronormoblas akan membentuk DNA yang diperlukan untuk tiga
sampai dengan empat kali fase mitosis. Melalui empat kali mitosis dari tiap sel
pronormoblas akan terbentuk 16 eritrosit (Handayani, 2008). Eritrosit matang
kemudian dilepaskan dalam sirkulasi. Pada produksi eritrosit normal sumsum
tulang memerlukan besi, vitamin B 12, asam folat, piridoksin (vitamin B6),
kobal, asam amino, dan tembaga (Tarwoto, 2008).
Secara
garis besar dapat disimpulkan bahwa perubahan morfologi sel yang terjadi selama
proses diferensiasi sel pronormoblas sampai eritrosit matang dapat
dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, yaitu sebagai berikut :
1. Ukuran
sel semakin kecil akibat mengecilnya inti sel
2. Inti
sel menjadi makin padat dan akhirnya dikeluarkan pda tingkatan eritroblas
asidosis
3. Dalam
sitoplasma dibentuk hemoglobin yang diikuti dengan hilangnya RNA dari dalam
sitoplasma sel (Handayani, 2008).
E. Hitung Eritrosit
Hitung
eritrosit adalah jumlah absolut sel darah merah dalam darah lengkap. Nilai
normalnya 5,4 juta/µl pada laki-laki dan 4,8 juta/µl pada wanita. Menghitung
jumlah eritrosit dapat dilakukan secara langsung dan lebih akurat dengan
menggunakan penghitung elektronik (Ganong, 1998).
F. Leukosit
Leukosit
adalah sel darah yang mengandung inti, bening, tidak berwarna, dan ukurnnya
lebih besar dari eritrosit. Bentuk leukosit dapat berubah-ubah dan dapat
bergerak dengan kaki palsu/pseudopodia (Pearce, 1979).
Leukosit
terbagi menjadi dua golongan utama yaitu yang agranular dan yang granular.
Leukosit agranular mempunyai
sitoplasma yang tampak homogen, dan intinya berbentuk bulat. Leukosit granular mengandung granula spesifik
dalam sitoplasmanya dan mempunyai inti yang bentuknya bervariasi. Terdapat tiga
jenis leukosit granular yaitu neutrofil, eosinofil dan basofil,
dan dua jenis leukosit agranular
yaitu limfosit dan monosit (Tambajong, 1995).
Neutrofil fungsi utamanya adalah untuk
melindungi terhadap benda-benda asing yang masuk tubuh, khususnya kuman, dan
melenyapkan bahan limbah. Sel-sel ini tertarik ke tempat infeksi oleh substansi
kimiawi yang dilepaskan sel-sel cidera, kemotaksin. Sel-sel ini menembus
dinding kapiler di daerah radang dengan gerakan ameboid kemudian mereka
memfagositosis dan membunuh kuman, dan bersama sel jaringan mati, kuman mati
maupun hidup, fagosit yang mati, membentuk nanah (Tambayong, 2001). Neutrofil merupakan leukosit granular
yang paling banyak, mencapai 50-70 persen dari jumlah sel darah putih (Ganong,
1998).
Eosinofil berfungsi melindungi tubuh
terhadap bahan asing, khususnya parasit. Eosinofil
banyak bermigrasi keluar pembuluh darah menuju daerah tubuh yang terpapar,
misalnya daerah ikat di bawah kulit, membran mukosa saluran nafas dan saluran
cerna, pelapis vagina dan rahim. Jumlah eosinofil meningkat pada keadaan
alergi, seperti pada asma bronkial (Tambayong, 2001). Eosinofil dalam darah mencapai 1-4 persen dari jumlah sel darah
putih (Ganong, 1998).
Basofil adalah jenis leukosit yang
paling sedikit jumlahnya yaitu kurang dari 1% dari jumlah sel darah putih
(Ganong, 1998). Basofil memiliki
fungsi menyerupai sel mast, mengandung histamin untuk meningkatkan aliran darah
ke jaringan yang cedera dan heparin untuk membantu mencegah pembekuan darah
intravaskular (Tambayong, 2001).
Limfosit Limfosit adalah golongan
leukosit kedua terbanyak setelah neutrofil, berkisar 20-40 persen dari sel
darah putih, memiliki fungsi dalam reaksi imunitas. Terdapat dua jenis limfosit
yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T bergantung timus, berumur panjang,
dibentuk dalam timus. Limfosit B tidak bergantung timus, tersebar dalam
folikel-folikel kelenjar getah bening (Tambayong, 2001). Limfosit T bertanggung
jawab atas respons kekebalan selular melalui pembentukan sel yang reaktif
antigen sedangkan limfosit B, jika dirangsang dengan semestinya,
berdiferesiansi menjadi sel-sel plasma yang menghasilkan imunoglobulin, sel-sel
ini bertanggung jawab atas respons kekebalan hormonal (Ganong, 1998).
Monosit jumlahnya mencapai 3-8 persen
dari sel darah putih. Monosit dari
sumsum tulang masuk ke dalam darah dan beredar selama kurang lebih 72 jam
(Ganong, 1998). Sel ini kemudian masuk ke jaringan dan menjadi makrofag
jaringan. Keduanya menghasilkan interleukin I, yang bekerja pada hipotalamus
menaikkan suhu badan pada infeksi dengan kuman, merangsang pembentukan globulin
oleh hati, dan meningkatkan produksi limfosit-T aktif (Tambayong, 2001).
Jumlah
normal leukosit pada orang dewasa rata-rata 5.000-10.000 sel per mikroliter
darah (Tarwoto, 2008). Keadaan dimana jumlah leukosit yang di atas normal
disebut leukositosis, sedangakan di
bawah normal disebut lukopenia
(Pearce, 1979).
G. Leukositosis
Leukositosis
adalah peningkatan jumlah leukosit dalam darah perifer. Paparan asap rokok
menyebabkan terjadinya leukositosis karena jumlah leukosit perokok lebih tinggi
dibanding jumlah leukosit bukan perokok (Schwartz, 1994). Ada berbagai sumber
dari peningkatan radikal bebas, termasuk logam tertentu (seperti besi), asap
rokok, polusi udara, obat-obat tertentu, racun, highly processed foods
dan bahan tambahan makanan, sinar ultraviolet, dan radiasi. Meskipun bukti
masih belum didapatkan, produksi yang berlebihan dan menyimpang dari kelompok
radikal pada inflamasi, metabolisme bahan kimia eksogen, atau melalui
autooksidasi mungkin berperan dalam terjadinya penyakit pada manusia (Arif,
2010).
H. Oksigen dan Karbon dioksida dalam darah
Sistem
transportasi oksigen dalam tubuh manusia terdiri atas paru-paru dan sistem kardiovaskuler.
Pengangkutan oksigen ke jaringan tubuh dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang
masuk paru-paru, adanya pertukaran gas dalam paru-paru yang adekuat, aliran
darah ke jaringan, dan kapasitas darah dalam mengangkut oksigen. Jumlah oksigen
dalam darah ditentukan oleh jumlah oksigen terlarut, jumlah hemoglobin, serta
afinitas hemoglobin terhadap oksigen (Ganong, 1998).
Oksigen
dalam darah diikat oleh hemoglobin dengan tujuan agar oksigen tersebut dapat
dibawa dalam jumlah besar. Ikatan kimia khusus tersebut menyebabkan oksigen
larut diikat secara kimia sehingga dapat dibawa dalam jumlah besar, dan ikatan
ini tetap dapat dipengaruhi oleh keadaan tertentu yang biasa terdapat didalam
tubuh sehingga mudah pula dilepaskan dan diserahkan ke sel yang memerlukan
(Sadikin, 2001).
Kelarutan
karbon dioksida dalam darah sekitar 20 kali lebih besar daripada oksigen,
sehingga pada tekanan parsial yang sama didapatkan jauh lebih banyak karbon
dioksida dibandingkan oksigen dalam larutan sederhana. CO yang berdifusi ke
dalam eritrosit secara cepat dihidrasi menjadi HCO, karena adanya anhidrase karbonat. HCO akan berdisosiasi
menjadi H dan HCO, kemudian H dibufer, terutama oleh
hemoglobin, sementara HCO memasuki plasma.
Penurunan saturasi deoksihemoglobin (HbO) saat darah melewati pembuluh kapiler jaringan akan meningkatkan
kemampuan pembuferan, karena HbO mampu mengikat lebih
banyak H dibandingkan
oksihemoglobin (HbO). Sejumlah CO dalam eritrosit akan
bereaksi dengan gugus amino dari protein, terutama hemoglobin membentuk senyawa
karbamin (Ganong, 1998).
Ganong
(1998) menyebutkan bahwa transpor CO di dalam darah vena
dipermudah karena HbO mampu membentuk senyawa karbamino lebih cepat daripada
HbO. Sebesar 11 persen dari CO yang ditambahkan ke
dalam pembuluh darah sistemik akan dibawa ke paru-paru dalam bentuk karbamin-CO. CO bereaksi dengan
protein dalam plasma membentuk sejumlah kecil senyawa karbamin dan sebagian CO mengalami hidrasi,
namun reaksi hidrasi berlangsung lebih lambat karena tidak adanya anhidrase
karbonat.
I. Karbon monoksida
Karbon monoksida merupakan
gas yang tidak berwarna dan tidak berbau yang terdapat dalam bentuk gas pada
suhu di atas -192°C. Karbon monoksida terbentuk oleh segala proses pembakaran
yang tidak sempurna dari bahan yang mengandung karbon atau pembakaran di bawah
tekanan dan temperatur tinggi (Fardiaz, 1992). Rokok di dalamnya terdapat 2-6
persen gas CO pada saat merokok, sedangkan gas CO yang diisap oleh perokok
paling rendah 400 ppm (Sitepoe, 2000).
Pengaruh beracun CO
bagi tubuh terutama disebabkan oleh reaksi antara CO dengan hemoglobin dalam
darah. Hemoglobin berfungsi membawa oksigen dalam bentuk oksihemoglobin (OHb) dari paru-paru ke sel tubuh, dan membawa CO dalam bentuk COHb dari sel tubuh ke paru-paru. Adanya CO menyebabkan hemoglobin
dapat membentuk karboksihemoglobin (COHb). Kemampuan darah mentranspor oksigen
menjadi berkurang karena afinitas CO terhadap hemoglobin 200 kali lebih tinggi
daripada afinitas oksigen terhadap hemoglobin, akibatnya jika CO dan Oterdapat bersama-sama di udara akan terbentuk COHb dalam
jumlah lebih banyak daripada OHb (Fardiaz, 1992).
J.
Landasan
Teori
Merokok adalah tindakan menghisap asap yang berasal
daripada pembakaran tembakau. Asap rokok mengandung bahan kimia berbahaya
misalnya nikotin, tar, dan karbon monoksida. Kebiasaan merokok berhubungan
dengan penyakit yang berisiko tinggi seperti bronkhitis kronis atau radang
saluran pernafasan, asma, radang paru-paru, penyakit paru obstruktif kronis,
emfisema, arteriosklerosis, stroke, jantung koroner, kanker paru-paru. Bahaya
asap rokok tidak hanya bagi perokok tapi juga orang yang berada di sekitarnya.
Karbon monoksida (CO) hasil pembakaran rokok
berikatan dengan hemoglobin membentuk karboksihemoglobin, sehingga hemoglobin
tidak mampu mengikat oksigen karena afinitas karbon monoksida terhadap
hemoglobin lebih kuat. Hemoglobin tidak berhasil mengedarkan oksigen ke
jaringan tubuh sehingga terjadi hipoksia jaringan misalnya ginjal. Ginjal
meningkatkan sekresi eritropoeitin sehingga meningkatkan produksi eritrosit
(eritropoisis). Jumlah eritrosit pada darah tepi pun meningkat.
Sel darah putih berfungsi untuk membunuh kuman
penyakit yang masuk ke tubuh serta membentuk pertahanan terhadap benda asing
yang masuk ke dalam tubuh. Bahan kimia hasil pembakaran rokok oleh sel darah
putih dianggap sebagai benda asing, sehingga sel darah putih membentuk
perrtahanan yang mengakibatkan jumlah leukosit meningkat.
Bahan kimia pada asap rokok menyebabkan inflamasi
paru sehingga mempengaruhi pembentukan sitokin atau interleukin yang
bersirkulasi misalnya IL-6, IL-1β, dan GM-CSF. Sitokin tersebut menstimulasi
sumsum tulang dalam pembentukan leukosit. Peningkatan IL-6, IL-1β, dan GM-CSF
mempengaruhi pembentukan neutrofil, eosinofil, monosit, dan basofil.
Peningkatan jenis leukosit misalnya neutrofil
(neutrofilia) sering juga digunakan sebagai peningkatan jumlah leukosit secara
umum (leukositosis).
K.
Kerangka
Konsep
|
|
Variabel pengganggu
Keterangan
:
: diteliti
: tidak diteliti
Gambar 1. Kerangka konsep penelitian
L. Hipotesis
1. Ada
perbedaan rerata jumlah eritrosit antara perokok dan bukan perokok pada Mahasiswa
Pendidikan Teknik Mesin Angkatan 2010
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta.
2. Ada
perbedaan rerata jumlah leukosit antara perokok dan bukan perokok pada
Mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin Angkatan 2010 Universitas Sarjanawiyata
Tamansiswa, Yogyakarta.