Sabtu, 09 Juni 2012

perbedaan jumlah eritrosit dan leukosit antara perokok dan bukan perokok pada mahasiswa pendidikan teknik mesin UST yogyakarta (bab 2)


          BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Merokok dan Kesehatan
Bahaya merokok bagi kesehatan telah dibicarakan dan diakui secara luas. Para ahli dari WHO menyatakan bahwa di negara yang memiliki kebiasaan merokok yang luas, maka kebiasaan tersebut menyebabkan terjadinya 80 persen hingga 90 persen  kematian akibat kanker paru, 75 persen dari kematian akibat bronkitis, 40 persen kematian akibat kanker kandung kencing, dan 25 persen kematian akibat penyakit jantung iskemik. WHO dalam laporannya juga menyebutkan beberapa penyakit yang berhubungan dengan kebiasaan merokok, yaitu kanker mulut/tenggorokan/kerongkongan, penyakit pembuluh darah otak, tuberkulosis, pneumonia, arteriosklerosis, dan gangguan janin dalam kandungan (Aditama, 1992).
 Kebiasaan Merokok pada ibu hamil ternyata membawa dampak buruk pada anak yang akan dilahirkannya. Ibu-ibu yang merokok lebih cenderung mengalami keguguran. Lebih besar kecenderungan mereka untuk melahirkan bayi mati (Knight, 1996). Seandainya bayi itu lahir normal, maka bayi itu lebih sering meninggal pada bulan-bulan pertama hidupnya. Selain itu, berat badan bayi dengan ibu perokok kebanyakan kurang dan bayinya lebih sering sakit.
Berat badan bayi tersebut lebih rendah 40-400 gram dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu bukan perokok (Aditama, 1992). 
Nikotin yang terdapat pada asap rokok bersifat toksis terhadap jaringan saraf, juga menyebabkan meningkatnya tekanan darah sistolik dan diastolik. Denyut jantung bertambah, kontraksi otot bertambah, otot jantuk seperti dipaksa untuk berkontraksi, pemakaian oksigen meningkat, aliran darah pada pembuluh koroner bertambah, dan terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Nikotin menyebabkan meningkatnya kadar gula darah, kadar asam lemak bebas, dan meningkatkan agregasi sel pembekuan darah. Nikotin juga memegang peranan penting dalam terjadinya ketagihan merokok  karena nikotin yang bersifat adiktif (Sitepoe, 2000).
Tar adalah kumpulan dari ratusan atau bahkan ribuan bahan kimia dalam komponen padat  asap rokok selain nikotin. Tar adalah senyawa polinuklir hidrokarbon aromatika yang bersifat karsinogenik (Istiqomah, 2003). Timbulnya kanker paru berhubungan dengan jumlah rokok yang diisap, lama merokok, dan jenis rokok yang diisap. Artinya, makin banyak rokok yang diisap, makin lama pula kebiasaan merokok, makin tinggi pula kadar tar rokok yang diisap sehingga kemungkinan orang menderita kanker paru lebih besar. Kebiasaan merokok juga dihubungkan dengan berbagai kanker lain, mulai dari kanker mulut sampai kanker leher rahim. Kanker timbul diduga akibat diserapnya bahan-bahan karsinogenik, misalnya tar (Aditama, 1992).
Merokok tidak hanya mengakibatkan gangguan kesehatan pada si perokok tetapi juga orang di sekitarnya yang terpaksa ikut menghisap asap rokok (perokok pasif). Bayi yang belum lahir berada dalam risiko, demikian juga anak yang orang tuanya merokok, dan juga orang dewasa. Meskipun risiko yang dihadapi tidak sebesar si perokok, jenis penyakit dan kelainan yang timbul ternyata serupa (Crofton dan Simpson, 2009).

B.     Eritrosit
Eritrosit memiliki fungsi utama mengikat dan membawa oksigen dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh sel di berbagai jaringan. Selain itu, eritrosit juga berfungsi mengikat dan mempermudah transportasi gas karbondioksida yang terbentuk di seluruh jaringan yang mampu melakukan metabolisme secara aerob untuk dibawa ke jaringan pembuangan ekskreta yang berbentuk gas, yaitu paru-paru (Sadikin, 2001).
Eritrosit memang dikhususkan untuk mentranspor oksigen dan karbon dioksida dalam sirkulasi darah. Eritrosit tidak memiliki inti sel sehingga bagian tengahnya tipis (1 mikron) dan tepian luarnya lebih tebal (2 mikron) . Bentuknya yang bikonkaf dengan diameter 7,5 mikron  membuat eritrosit memiliki permukaan yang lebih luas sehingga mempercepat difusi O2 dan CO2 antara sitoplasma dengan plasma di sekitarnya (Tarwoto , 2008).
Eritrosit bersifat cukup fleksibel, suatu sifat yang memungkinkan eritrosit dapat menyesuaikan diri terhadap bentuk ireguler dan garis tengah kapiler yang sangat kecil karena permukaan membran eritrosit tersusun atas protein perifer. Eritrosit mengandung larutan hemoglobin 33 persen dan di dalamnya juga terdapat enzim dari jalur lintas glikolitik dan heksosamonofosfat dari metabolisme glukosa (Junqueira et al., 1997).
Hemoglobin adalah protein berpigmen merah yang terdapat dalam sel darah merah. Normalnya dalam darah pada laki-laki 15,5 g/dl dan pada wanita 14,0 g/dl. Rata-rata konsentrasi hemoglobin (MCHC = Mean Cell Concentration of Haemoglobin) pada sel darah merah 32 g/dl (Tarwoto, 2008).
Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru dan dalam peredaran darah untuk dibawa ke jaringan. Ikatan hemoglobin dengan oksigen disebut oksihemoglobin (HbO2). Disamping oksigen, hemoglobin juga membawa karbondioksida dan dengan karbonmonoksida membentuk ikatan karbon monoksihemoglobin (HbCO), juga berperan dalam keseimbangan pH darah (Tarwoto, 2008).
Sintesa hemoglobin terjadi selama proses eritropoesis, pematangan sel darah merah akan mempengaruhi fungsi hemoglobin. Struktur hemoglobin terdiri dari dua unsur utama yaitu besi yang mengandung pigmen hem dan protein globin. Seperti halnya jenis protein lain, globin mempunyai rantai panjang dari asam amino. Ada empat rantai globin yaitu alpha (α), beta (β), delta (δ), dan gamma (γ). Ada tiga jenis hemoglobin (Hb) yaitu :
1.      HbA merupakan kebanyakan dari hemoglobin orang dewasa, mempunyai rantai globin 2α dan 2β
2.      HbA2 merupakan minoritas hemoglobin pada orang dewasa, mempunyai rantai globin 2α dan 2δ
3.      HbF merupakan hemoglobin fetal, mempunyai rantai globin 2α dan 2γ. Saat bayi lahir 2/3 nya adalah jenis hemoglobin HbF dan 1/3 nya adalah HbA. Menjelang usia 5 tahun menjadi HbA>95 persen, dan HbA2 < 3,5 persen dan HbF < 1,5  persen (Tarwoto, 2008).

C.    Eritropoietin
Eritropoietin adalah glikoprotein yang mengandung 165 residu asam amino dan 4 rantai oligosakarida yang penting untuk aktivitasnya in vivo. Pada orang dewasa 85 persen eritropoietin berasal dari ginjal dan sisanya dari hati. Eritropoietin juga dapat diekstraksi dari limpa dan kelenjar liur. Eritropoietin berfungsi merangsang produksi eritrosit (Ganong, 1998). Pembentukannya sebagai respon terhadap hipoksia, bila eritropoietin tidak ada keadaan hipoksia akan sedikit berpengaruh atau tidak berpengaruh sama sekali dalam perangsangan produksi eritrosit. Hipoksia akan dengan nyata meningkatkan produksi eritrosit sampai keadaan hipoksia tertanggulangi bila sistem eritropoietin ini berfungsi sebagaimana mestinya (Guyton dan Hall, 1987).
Eritropoietin dengan jumlah yang sedikit, menyebabkan sumsum tulang hanya membentuk eritrosit dalam jumlah sedikit pula. Pada keadaan ekstrem lain, bila jumlah eritropoietin yang terbentuk banyak sekali, dan jika tersedia banyak sekali besi dan nutrisi lainnya yang diperlukan misalnya vitamin B dan asam folat, maka kecepatan produksi eritrosit dapat meningkat sampai sepuluh kali lipat atau bahkan lebih (Guyton dan Hall, 1987).
Seseorang dengan penyakit ginjal kronik atau kedua ginjalnya diangkat, maka penderita akan sangat anemik karena 15 persen eritropoietin normal yang dibentuk di hati hanya cukup menyediakan sepertiga sampai setengah dari produksi eritrosit yang dibutuhkan tubuh (Guyton dan Hall, 1987). Orang yang menderita penyakit paru kronik akan mengalami peningkatan P COarteri bersamaan dengan penurunan  P Oyang menimbulkan hipoksia (Sherwood, 2001).

D.    Eritropoesis (Produksi Sel Darah Merah)
Dalam keadaan normal, eritropoesis pada orang dewasa terutama terjadi di dalam sumsum tulang, dimana sistem eritrosit menempati 20 persen hingga 30 persen bagian jaringan sumsum tulang yang aktif membentuk sel darah. Sel eritrosit berinti berasal dari sel induk multipotensial dalam sumsum tulang. Sel induk multipotensial ini mampu berdiferensiasi menjadi sel darah sistem eritrosit, mieloid, dan megakariosibila yang dirangsang oleh eritropoeitin. Sel induk multipotensial akan berdiferensiasi menjadi sel induk unipotensial (Handayani, 2008).
Sel induk unipotensial tidak mampu berdiferensiasi lebih lanjut, sehingga sel induk unipotensial seri eritrosit hanya akan berdiferensiasi menjadi sel pronormoblas. Sel pronormoblas akan membentuk DNA yang diperlukan untuk tiga sampai dengan empat kali fase mitosis. Melalui empat kali mitosis dari tiap sel pronormoblas akan terbentuk 16 eritrosit (Handayani, 2008). Eritrosit matang kemudian dilepaskan dalam sirkulasi. Pada produksi eritrosit normal sumsum tulang memerlukan besi, vitamin B 12, asam folat, piridoksin (vitamin B6), kobal, asam amino, dan tembaga (Tarwoto, 2008).
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa perubahan morfologi sel yang terjadi selama proses diferensiasi sel pronormoblas sampai eritrosit matang dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, yaitu sebagai berikut :
1.      Ukuran sel semakin kecil akibat mengecilnya inti sel
2.      Inti sel menjadi makin padat dan akhirnya dikeluarkan pda tingkatan eritroblas asidosis
3.      Dalam sitoplasma dibentuk hemoglobin yang diikuti dengan hilangnya RNA dari dalam sitoplasma sel (Handayani, 2008).

E.     Hitung Eritrosit
Hitung eritrosit adalah jumlah absolut sel darah merah dalam darah lengkap. Nilai normalnya 5,4 juta/µl pada laki-laki dan 4,8 juta/µl pada wanita. Menghitung jumlah eritrosit dapat dilakukan secara langsung dan lebih akurat dengan menggunakan penghitung elektronik (Ganong, 1998).

F.     Leukosit
Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, bening, tidak berwarna, dan ukurnnya lebih besar dari eritrosit. Bentuk leukosit dapat berubah-ubah dan dapat bergerak dengan kaki palsu/pseudopodia (Pearce, 1979).
Leukosit terbagi menjadi dua golongan utama yaitu yang agranular dan yang granular. Leukosit agranular mempunyai sitoplasma yang tampak homogen, dan intinya berbentuk bulat. Leukosit granular mengandung granula spesifik dalam sitoplasmanya dan mempunyai inti yang bentuknya bervariasi. Terdapat tiga jenis leukosit granular yaitu neutrofil, eosinofil dan basofil, dan dua jenis leukosit agranular yaitu limfosit dan monosit (Tambajong, 1995).
Neutrofil fungsi utamanya adalah untuk melindungi terhadap benda-benda asing yang masuk tubuh, khususnya kuman, dan melenyapkan bahan limbah. Sel-sel ini tertarik ke tempat infeksi oleh substansi kimiawi yang dilepaskan sel-sel cidera, kemotaksin. Sel-sel ini menembus dinding kapiler di daerah radang dengan gerakan ameboid kemudian mereka memfagositosis dan membunuh kuman, dan bersama sel jaringan mati, kuman mati maupun hidup, fagosit yang mati, membentuk nanah (Tambayong, 2001). Neutrofil merupakan leukosit granular yang paling banyak, mencapai 50-70 persen dari jumlah sel darah putih (Ganong, 1998).
Eosinofil berfungsi melindungi tubuh terhadap bahan asing, khususnya parasit. Eosinofil banyak bermigrasi keluar pembuluh darah menuju daerah tubuh yang terpapar, misalnya daerah ikat di bawah kulit, membran mukosa saluran nafas dan saluran cerna, pelapis vagina dan rahim. Jumlah eosinofil meningkat pada keadaan alergi, seperti pada asma bronkial (Tambayong, 2001). Eosinofil dalam darah mencapai 1-4 persen dari jumlah sel darah putih (Ganong, 1998).
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya yaitu kurang dari 1% dari jumlah sel darah putih (Ganong, 1998). Basofil memiliki fungsi menyerupai sel mast, mengandung histamin untuk meningkatkan aliran darah ke jaringan yang cedera dan heparin untuk membantu mencegah pembekuan darah intravaskular (Tambayong, 2001).
Limfosit Limfosit adalah golongan leukosit kedua terbanyak setelah neutrofil, berkisar 20-40 persen dari sel darah putih, memiliki fungsi dalam reaksi imunitas. Terdapat dua jenis limfosit yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T bergantung timus, berumur panjang, dibentuk dalam timus. Limfosit B tidak bergantung timus, tersebar dalam folikel-folikel kelenjar getah bening (Tambayong, 2001). Limfosit T bertanggung jawab atas respons kekebalan selular melalui pembentukan sel yang reaktif antigen sedangkan limfosit B, jika dirangsang dengan semestinya, berdiferesiansi menjadi sel-sel plasma yang menghasilkan imunoglobulin, sel-sel ini bertanggung jawab atas respons kekebalan hormonal (Ganong, 1998).
Monosit jumlahnya mencapai 3-8 persen dari sel darah putih. Monosit dari sumsum tulang masuk ke dalam darah dan beredar selama kurang lebih 72 jam (Ganong, 1998). Sel ini kemudian masuk ke jaringan dan menjadi makrofag jaringan. Keduanya menghasilkan interleukin I, yang bekerja pada hipotalamus menaikkan suhu badan pada infeksi dengan kuman, merangsang pembentukan globulin oleh hati, dan meningkatkan produksi limfosit-T aktif (Tambayong, 2001).
Jumlah normal leukosit pada orang dewasa rata-rata 5.000-10.000 sel per mikroliter darah (Tarwoto, 2008). Keadaan dimana jumlah leukosit yang di atas normal disebut leukositosis, sedangakan di bawah normal disebut lukopenia (Pearce, 1979).

G.    Leukositosis
Leukositosis adalah peningkatan jumlah leukosit dalam darah perifer. Paparan asap rokok menyebabkan terjadinya leukositosis karena jumlah leukosit perokok lebih tinggi dibanding jumlah leukosit bukan perokok (Schwartz, 1994). Ada berbagai sumber dari peningkatan radikal bebas, termasuk logam tertentu (seperti besi), asap rokok, polusi udara, obat-obat tertentu, racun, highly processed foods dan bahan tambahan makanan, sinar ultraviolet, dan radiasi. Meskipun bukti masih belum didapatkan, produksi yang berlebihan dan menyimpang dari kelompok radikal pada inflamasi, metabolisme bahan kimia eksogen, atau melalui autooksidasi mungkin berperan dalam terjadinya penyakit pada manusia (Arif, 2010).

H.    Oksigen dan Karbon dioksida dalam darah
Sistem transportasi oksigen dalam tubuh manusia terdiri atas paru-paru dan sistem kardiovaskuler. Pengangkutan oksigen ke jaringan tubuh dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang masuk paru-paru, adanya pertukaran gas dalam paru-paru yang adekuat, aliran darah ke jaringan, dan kapasitas darah dalam mengangkut oksigen. Jumlah oksigen dalam darah ditentukan oleh jumlah oksigen terlarut, jumlah hemoglobin, serta afinitas hemoglobin terhadap oksigen (Ganong, 1998).
Oksigen dalam darah diikat oleh hemoglobin dengan tujuan agar oksigen tersebut dapat dibawa dalam jumlah besar. Ikatan kimia khusus tersebut menyebabkan oksigen larut diikat secara kimia sehingga dapat dibawa dalam jumlah besar, dan ikatan ini tetap dapat dipengaruhi oleh keadaan tertentu yang biasa terdapat didalam tubuh sehingga mudah pula dilepaskan dan diserahkan ke sel yang memerlukan (Sadikin, 2001).
Kelarutan karbon dioksida dalam darah sekitar 20 kali lebih besar daripada oksigen, sehingga pada tekanan parsial yang sama didapatkan jauh lebih banyak karbon dioksida dibandingkan oksigen dalam larutan sederhana. CO yang berdifusi ke dalam eritrosit secara cepat dihidrasi menjadi HCO, karena adanya anhidrase karbonat. HCO akan berdisosiasi menjadi H dan HCO, kemudian H dibufer, terutama oleh hemoglobin, sementara HCO memasuki plasma. Penurunan saturasi deoksihemoglobin (HbO) saat darah melewati pembuluh kapiler jaringan akan meningkatkan kemampuan pembuferan, karena HbO mampu mengikat lebih banyak H dibandingkan oksihemoglobin (HbO). Sejumlah CO dalam eritrosit akan bereaksi dengan gugus amino dari protein, terutama hemoglobin membentuk senyawa karbamin (Ganong, 1998).
Ganong (1998) menyebutkan bahwa transpor CO di dalam darah vena dipermudah karena HbO mampu membentuk senyawa karbamino lebih cepat daripada HbO. Sebesar 11 persen dari CO yang ditambahkan ke dalam pembuluh darah sistemik akan dibawa ke paru-paru dalam bentuk karbamin-CO. CO bereaksi dengan protein dalam plasma membentuk sejumlah kecil senyawa karbamin dan sebagian CO mengalami hidrasi, namun reaksi hidrasi berlangsung lebih lambat karena tidak adanya anhidrase karbonat.

I.       Karbon monoksida
Karbon monoksida merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak berbau yang terdapat dalam bentuk gas pada suhu di atas -192°C. Karbon monoksida terbentuk oleh segala proses pembakaran yang tidak sempurna dari bahan yang mengandung karbon atau pembakaran di bawah tekanan dan temperatur tinggi (Fardiaz, 1992). Rokok di dalamnya terdapat 2-6 persen gas CO pada saat merokok, sedangkan gas CO yang diisap oleh perokok paling rendah 400 ppm (Sitepoe, 2000).
Pengaruh beracun CO bagi tubuh terutama disebabkan oleh reaksi antara CO dengan hemoglobin dalam darah. Hemoglobin berfungsi membawa oksigen dalam bentuk oksihemoglobin (OHb) dari paru-paru ke sel tubuh, dan membawa CO dalam bentuk COHb dari sel tubuh ke paru-paru. Adanya CO menyebabkan hemoglobin dapat membentuk karboksihemoglobin (COHb). Kemampuan darah mentranspor oksigen menjadi berkurang karena afinitas CO terhadap hemoglobin 200 kali lebih tinggi daripada afinitas oksigen terhadap hemoglobin, akibatnya jika CO dan Oterdapat bersama-sama di udara akan terbentuk COHb dalam jumlah lebih banyak daripada OHb (Fardiaz, 1992).
J.      Landasan Teori
Merokok adalah tindakan menghisap asap yang berasal daripada pembakaran tembakau. Asap rokok mengandung bahan kimia berbahaya misalnya nikotin, tar, dan karbon monoksida. Kebiasaan merokok berhubungan dengan penyakit yang berisiko tinggi seperti bronkhitis kronis atau radang saluran pernafasan, asma, radang paru-paru, penyakit paru obstruktif kronis, emfisema, arteriosklerosis, stroke, jantung koroner, kanker paru-paru. Bahaya asap rokok tidak hanya bagi perokok tapi juga orang yang berada di sekitarnya.
Karbon monoksida (CO) hasil pembakaran rokok berikatan dengan hemoglobin membentuk karboksihemoglobin, sehingga hemoglobin tidak mampu mengikat oksigen karena afinitas karbon monoksida terhadap hemoglobin lebih kuat. Hemoglobin tidak berhasil mengedarkan oksigen ke jaringan tubuh sehingga terjadi hipoksia jaringan misalnya ginjal. Ginjal meningkatkan sekresi eritropoeitin sehingga meningkatkan produksi eritrosit (eritropoisis). Jumlah eritrosit pada darah tepi pun meningkat.
Sel darah putih berfungsi untuk membunuh kuman penyakit yang masuk ke tubuh serta membentuk pertahanan terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Bahan kimia hasil pembakaran rokok oleh sel darah putih dianggap sebagai benda asing, sehingga sel darah putih membentuk perrtahanan yang mengakibatkan jumlah leukosit meningkat.
Bahan kimia pada asap rokok menyebabkan inflamasi paru sehingga mempengaruhi pembentukan sitokin atau interleukin yang bersirkulasi misalnya IL-6, IL-1β, dan GM-CSF. Sitokin tersebut menstimulasi sumsum tulang dalam pembentukan leukosit. Peningkatan IL-6, IL-1β, dan GM-CSF mempengaruhi pembentukan neutrofil, eosinofil, monosit, dan basofil. Peningkatan jenis leukosit misalnya neutrofil (neutrofilia) sering juga digunakan sebagai peningkatan jumlah leukosit secara umum (leukositosis).

K.    Kerangka Konsep
Jumlah eritrosit
Jumlah leukosit
 
Status merokok
 
                       Variabel bebas                                            Variabel terikat                                                

Text Box: 1. Penyakit paru kronis
2. Penyakit ginjal
3. Asupan makanan    Variabel pengganggu



Keterangan :
                             : diteliti
                             : tidak diteliti

Gambar 1. Kerangka konsep penelitian

L.     Hipotesis
1.      Ada perbedaan rerata jumlah eritrosit antara perokok dan bukan perokok pada Mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin Angkatan 2010  Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta.
2.      Ada perbedaan rerata jumlah leukosit antara perokok dan bukan perokok pada Mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin Angkatan 2010 Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta.

perbedaan jumlah eritrosit dan leukosit antara perokok dan bukan perokok pada mahasiswa pendidikan teknik mesin UST yogyakarta


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Merokok adalah tindakan menghisap asap yang berasal dari pembakaran tembakau, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa (Sitepoe, 2000). Saat ini diperkirakan jumlah perokok di dunia ada sekitar 1,3 miliar. Korban meninggal akibat mengkonsumsi tembakau sekarang ini berjumlah 5 juta orang tiap tahun. Jumlah kematian akan berlipat ganda mencapai 10 juta orang per tahun pada tahun 2020 jika konsumsi tembakau terus meningkat (WHO, 2006).
Tingginya beban penyakit dan kematian akibat merokok dengan cepat beralih ke negara-negara berkembang (WHO, 2006). Indonesia menduduki posisi peringkat ke 3 dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah China dan India dan tetap menduduki posisi ke 5 konsumen rokok terbesar setelah China, Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang pada tahun 2007 (TCSC dan IAKMI, 2010). Jumlah perokok di Indonesia meningkat secara cukup signifikan. Tahun 1995 hanya ada sekitar 34 juta perokok, tapi berdasarkan data Riskesdas tahun 2010 diketahui bahwa sebanyak 34 persen atau sekitar 80 juta orang Indonesia merokok setiap harinya (Depkes RI, 2011).
Asap rokok yang dihisap mengandung 4000 jenis bahan kimia. Jenis bahan kimia yang terkandung dalam sebatang rokok misalnya aceton (bahan pembuatan cat), naftalene (bahan kapur barus), arsenik, tar, metanol (bahan bakar roket), vinyl chlorida (bahan plastik PVC), fenole butane (bahan bakar korek api), potassium nitrat (bahan baku pembuatan bom), amonia, DDT (digunakan untuk racun serangga), hidrogen sianida (gas beracun yang digunakan di kamar eksekusi hukuman mati), nikotin, cadmium, dan karbon monoksida (Jaya, 2009). Karbon monoksida adalah komponen gas yang paling berbahaya karena merupakan penyebab penyakit yang menyerang sistem hematologi tubuh manusia (Sitepoe, 2000).
Sistem hematologi tubuh manusia tersusun atas darah dan tempat darah diproduksi, termasuk sumsum tulang dan nodus limpa. Darah adalah organ khusus yang berbeda dengan organ manusia yang lain karena berbentuk cairan (Handayani, 2008). Pada orang dewasa volume darah sekitar 70 sampai 75 ml/kg BB, atau sekitar 4 sampai 5 liter darah. Darah memiliki Ph 7,35 sampai 7,45 sehingga bersifat alkaline. Darah tersusun atas dua komponen utama yaitu plasma darah dan sel-sel darah. Plasma darah yaitu bagian cair darah (55 persen) yang sebagian besar terdiri dari air (92 persen), 7 persen protein, 1 persen nutrien, hasil metabolisme, gas pernapasan, enzim, hormon, faktor pembekuan darah, dan garam-garam organik. Sel-sel darah kira-kira sebesar 45 persen, terdiri atas eritrosit atau sel darah merah, leukosit atau sel darah putih, dan trombosit (Tarwoto, 2008).
Sel darah merah yang matang sangat mudah dikenali disebabkan oleh morfologinya yang unik. Sel darah merah tidak berinti sel, tidak memiliki mitokondria dan tidak memiliki ribosom, serta tidak dapat bergerak. Sel ini tidak dapat melakukan mitosis, fosforilasi oksidatif sel, atau pembentukaan protein. Sel darah merah (eritrosit) mampu hidup selama 74-154 hari. Setiap eritrosit di dalamnya terdapat sekitar 300 juta molekul hemoglobin (Handayani, 2008).
Hemoglobin adalah sejenis protein dengan berat molekul 64.500 dalton, terdiri daripada 4 rantai polipeptida. Bagian tengah dari cincin heme ini terdapat satu ion ferous, Fe2+ yang boleh mengikat satu molekul oksigen, lalu membolehkan satu molekul hemoglobin berikatan dengan empat molekul oksigen (Handayani, 2008).
Karbon monoksida (CO) di dalam peredaran darah terikat lebih kuat dengan Hb sebagai karboksihemoglobin sehingga Hb tidak diberikan kesempatan untuk melakukan fungsinya dalam mengikat O di dalam sistem transportasi peredaran darah (Fardiaz, 1992). Oksigen yang seharusnya diedarkan ke seluruh jaringan akhirnya tidak diedarkan sehingga terjadilah hipoksia. Hipoksia adalah kejadian kurangnya Odi tingkat jaringan. Hipoksia terjadi khususnya di organ ginjal. Ginjal berperan sebagai organ endokrin karena menghasilkan kinin, mensekresi renin, dan eritropoietin. Seseorang yang mengalami perdarahan atau hipoksia, sintesis hemoglobin akan meningkat, dan pembentukan serta pelepasan sel darah merah dari sumsum tulang meningkat (Ganong, 1998).
Sel darah putih atau leukosit sebagian dibentuk di sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan limfe. Setelah dibentuk, sel-sel ini diangkut dalam darah menuju berbagai bagian tubuh untuk digunakan. Manfaat leukosit adalah kebanyakan ditranspor secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan mengalami peradangan serius, menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap setiap bahan infeksius yang mungkin ada atau masuk dalam tubuh (Guyton dan Hall, 1987). Jumlah leukosit dalam darah akan berubah-ubah sesuai dengan jumlah bahan infeksius atau benda asing yang biasa dihadapi dari saat ke saat, dalam batas yang masih dapat ditolerir tubuh tanpa menimbulkan gangguan fungsi (Sadikin, 2001).
Keberadaan zat-zat beracun dari asap rokok menyebabkan tubuh melakukan perlawanan terhadap terjadinya respon imun dimana leukosit menjalankan sebagian besar fungsinya di luar sistem peredaran darah yaitu memperlihatkan gerakan aktif dan sebagian mempunyai daya fagositosis. Gerakan yang diperlihatkan adalah suatu proses merangkak atau amuboid pada substrat (Guyton, 1990).
Leukosit khususnya limfosit dan monosit yang masuk ke jaringan (makrofag) , dan pada keadaan tertentu mensekresi zat kimia yang menyerupai hormon yang bekerja sebagai kurir dan mempengaruhi respon kekebalan. Zat kurir tersebut disebut sitokin atau saat ini lebih dikenal dengan nama interleukin (Ganong, 1998). Paparan radikal bebas seperti yang terkandung dalam asap rokok menyebabkan peningkatan jumlah sitokin yang bersirkulasi seperti interleukin (IL)-6, IL-1β, dan granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF). Sitokin tersebut bertanggung jawab terhadap stimulasi sumsum tulang yang diinduksi oleh inflamasi pada paru (Ganong, 1998).
IL-6 merupakan sitokin yang dapat meningkatkan sintesa dan sekresi imunoglobulin oleh limfosit B. IL-6 juga merupakan sitokin proinflamasi yang bertanggung jawab terhadap pengeluaran neutrofil, monosit, eosinofil, dan basofil. Meningkatnya jumlah sitokin-sitokin tersebut juga akan mempengaruhi hematopoiesis. GM-CSF yang meningkat akan mempengaruhi jumlah neutrofil, eosinofil, dan eritrosit (Ganong, 1998). Peningkatan jumlah neutrofil dalam darah disebut neutrofilia. Istilah leukositosis sering digunakan untuk arti yang serupa seperti neutrofilia, walaupun istilah ini sebenarnya berarti kelebihan jumlah semua leukosit, apapun jenisnya (Guyton, 1990).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perokok memiliki hitung eritrosit dan leukosit yang lebih tinggi daripada bukan perokok (Salamzadeh, 2004). Sebuah penelitian di Pakistan justru menunjukkan bahwa hasil hitung eritrosit pada perokok lebih rendah daripada bukan perokok, bahkan beberapa responden perokok memiliki hitung eritrosit yang di bawah rentang normal (Zafar et al., 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti (2000) juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara jumlah leukosit perokok dan bukan perokok.
Pendidikan Teknik Mesin merupakan salah satu prodi pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang ada di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta. Prodi Pendidikan Teknik Mesin Angkatan 2010 memiliki mahasiswa berjumlah 72 orang. Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 17 Maret 2012, dari 10 laki-laki, sebesar 60 persen diantaranya merokok. Berdasarkan hasil observasi dan data di atas serta masih belum jelasnya pengaruh merokok terhadap jumlah eritrosit dan leukosit, peneliti tertarik untuk meneliti perbedaan jumlah eritrosit dan jumlah leukosit antara perokok dan bukan perokok pada Mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin Angkatan 2010 Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan dalam penelitian ini adalah “apakah ada perbedaan jumlah eritrosit dan jumlah leukosit antara perokok dan bukan perokok pada Mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin Angkatan 2010 Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta?”.

C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, adapun tujuan penelitian ini adalah :
1.      Tujuan Umum
Mengetahui ada tidaknya  perbedaan jumlah eritrosit dan jumlah leukosit antara perokok dan bukan perokok pada Mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin Angkatan 2010 Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta.



2.      Tujuan Khusus
a.       Mengetahui ada tidaknya perbedaan jumlah eritrosit antara perokok dan bukan perokok pada Mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin Angkatan 2010 Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta.
b.      Mengetahui ada tidaknya perbedaan jumlah leukosit antara perokok dan bukan perokok pada Mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin Angkatan 2010 Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta

D.    Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
1.      Bagi Prodi Pendidikan Teknik Mesin UST
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dalam upaya meningkatkan kesehatan khususnya mahasiswa tentang bahaya merokok.
2.      Bagi FKM UAD
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan tambahan pengetahuan dan sebagai sumber referensi untuk penelitian selanjutnya.
3.      Bagi Peneliti
Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman serta bermanfaat untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama di bangku perkuliahan dan mendapat pengalaman nyata dalam melakukan penelitian.
E.     Keaslian Penelitian
1.      Salamzadeh (2004), The Hematologic Effects of Cigarette Smoking in Healthy Men Volunteers. Perbedaan penelitian ini adalah cara pengambilan sampel dan variabel terikatnya. Variabel terikat penelitian ini yaitu jumlah eritrosit, jumlah leukosit, dan trombosit, sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti jumlah eritrosit dan jumlah leukosit. Persamaannya adalah pada jenis penelitiannya yaitu penelitian analitik observational dengan pendekatan Cross sectional.
2.      Yuniarti (2000), Perbedaan Jumlah dan Hitung Jenis Leukosit antara Perokok dan Bukan Perokok pada Mahasiswa yang Tinggal di Kelurahan Tembalang, Semarang. Perbedaan penelitian ini adalah pada variabel terikatnya yaitu jumlah dan hitung leukosit sedangkan penelitian ini variabel terikatnya adalah jumlah eritrosit dan jumlah leukosit. Persamaannya adalah pada jenis penelitiannya yaitu penelitian non eksperimen dengan pendekatan Cross sectional dan variabel bebasnya yaitu status merokok.
3.      Zafar et.al.(2003), Effect of Cigarette Smoking on Erythrocytes, Leukocytes, and Haemoglobin. Perbedaan penelitian ini adalah cara pengambilan sampel dan tempat lokasi penelitian. Persamaannya adalah pada jenis penelitiannya yaitu penelitian analitik dengan pendekatan Cross sectional dan variabel bebasnya yaitu status merokok.

Senin, 14 Mei 2012

sejauh ini

aku telah melangkah sejauh ini meski harus tertatih bahkan sekali dua kali terjatuh. Allah, lelah tapi aku tak ingin menyerah demi kedua orang tuaku. Aku sangat ingin melihat mereka bahagia. Skripsiku memasuki bagian revisi, tapi rasa bimbang masih menggelayuti pikiranku....
o iya....tanggal 12 beasiswa diumumkan tp aku tidak mendapatkan besiswa itu. Sedih, tapi ibu selalu menguatkan aku meski ku tahu beliau jg sedih.
Ibu..maaf aku mengecewakanmu sekali lagi, tapi aku janji kekecewaanmu akan aku bayar dengan apapun sepaya kulihat senyummu lagi esok hari

Jumat, 23 Maret 2012

sebuah permulaan

akhirnya proposal skripsi sudah jadi, saatnya revisi pertama.....semoga lancar

Sabtu, 11 Februari 2012

galau..

merasa gagal memerankan diri sendiri....

Selasa, 07 Februari 2012

hari pertama.....

hari pertama mencari buku referensi untuk skripsi di UGM berjalan lancar........alhamdulillah nemu juga buku yang selama ini aku cari....aku pergi bareng mbak ana dan mbak dwi....semoga hari-hari berikutnya akan selancar hari ini

Jumat, 20 Januari 2012